Pages

Selasa, 17 Januari 2012

Zanetti, Kapten Tua Yang Tak Kunjung Menua

Sekitar awal 2000-an, saat Serie-A Liga Italia masih berstatus liga terbaik di dunia, di sana kita bisa menemukan bukan hanya klub dan pemain terbaik, tetapi juga sejumlah pemimpin muda yang gagah dan berwibawa. Selain Paolo Maldini yang telah menjadi bintang internasional sejak awal dekade 90-an, muncul para kapten belia seperti Alessandro del Piero di Juventus, Francesco Totti di AS Roma, Alessandro Nesta di Lazio, dan Javier Zanetti di Inter.

Siapa yang paling hebat di antara mereka? Well, jika melihat seberapa cepat mereka meraih prestasi puncak, tiga nama pertama pantas dikedepankan.
Nesta mengapteni Lazio saat menjuarai Liga Italia 2000, diikuti Totti setahun setelahnya. Del Piero meskipun secara “administratif” adalah wakil kapten Juventus namun ialah pemimpin Si Nyonya Tua di lapangan karena Antonio Conte lebih sering berada di bangku cadangan. Ia sudah terlibat dalam kejayaan Juventus di era 90-an lalu memimpin timnya meraih gelar 2003, 2005, dan 2006 (sebelum dicabut karena Calciopoli). 

Namun jika ukurannya adalah konsistensi dalam waktu lama, Zanetti lah pemenangnya. Ia memang “baru” meraih gelar Serie-A pertamanya pada tahun 2006, namun kini setelah abad 20 berlalu satu dekade, lihatlah apa yang terjadi di lapangan. Nesta telah pindah ke Milan dan kini lebih banyak berkutat dengan cedera. Totti mulai tersingkir dari tim inti Roma karena kesulitan beradaptasi dengan strategi yang dibawa pelatih baru Luis Enrique. Del Piero bahkan mulai jarang muncul di bangku cadangan sekalipun. Bandingkan dengan Zanetti yang masih tetap bermain di hampir seluruh pertandingan Inter di setiap musimnya, dan selalu sebagai pemain starter dengan ban kapten di lengannya. Padahal di antara mereka semua, Zanetti lah yang paling tua. Agustus nanti usianya akan menginjak 39 tahun.  

Sang kapten yang penuh dedikasi
Apa yang membuat El Pupi bertahan di tim inti? Inter adalah salah satu tim yang paling sering berganti pelatih, terutama di era 1990-an dan awal 2000-an. Selama berada di Inter, Zanetti telah bermain di bawah asuhan 17 pelatih berbeda, sejak Roy Hodgson hingga Claudio Ranieri. Tak ada satupun di antara mereka yang sanggup menggeser Zanetti dari tim inti. Tentu tidak mudah untuk bekerjasama dengan para pelatih dengan berbagai pikiran dan strategi yang berbeda, namun Zanetti sanggup melakukannya. Mengapa? Karena ia punya skill, stamina, dan bisa bermain di segala posisi. Namun yang lebih penting adalah ia selalu mengeluarkan seluruh kemampuannya di lapangan. Seorang yang hebat sekalipun tidak akan berguna jika hanya setengah-setengah saat bermain.

Kesetiaannya juga berperan penting. Ia datang ke Giuseppe Meazza di saat Inter sedang mengalami masa-masa suram, dan masa suram itu masih berlanjut satu dekade lagi setelah kedatangannya. Inter hanya sanggup menjadi penantang gelar juara tanpa pernah benar-benar menjadi juara. Toh, Zanetti tak goyah. El Capitan -begitu para fans Inter menyebutnya- tetap bermain sepenuh hati. Kesetiaannya lalu terbalas saat Inter mendapat  “durian runtuh” ketika dua rival berat mereka, Juventus dan Milan, terlibat calciopoli. Inter pun melangkah mulus meraih 5 gelar juara liga beruntun, yang kemudian diikuti keberhasilkan menjadi klub italia pertama yang meraih treble pada musim 2009/2010. Semuanya dengan Zanetti berposisi sebagai kapten. Menurut saya, itu adalah berkah bagi kesetiaan Zanetti bermain di Inter.

Makanya sungguh mengejutkan ketika Maradona tidak mengikutsertakannya di Piala Dunia 2010, mengulang apa yang dilakukan Jose Pekerman 4 tahun sebelumnya. Padahal selama kualifikasi ia selalu tampil habis-habisan membela Il Tango. Ada yang beralasan Zanetti sudah tua, tapi bukankah 2 bulan sebelumnya ialah yang mematikan Messi saat Inter mengalahkan Barcelona di semifinal Liga Champions? Maradona mungkin pemain terbaik yang pernah ada, tapi sebagai pelatih, ia adalah salah satu yang paling idiot di dunia.

Dan itu terbukti ketika timnya dibantai anak muda Jerman 4 gol tanpa balas. Lini pertahanan mereka yang diisi nama-nama seperti Otamendi, Heinze atau Demichelis dibuat tak berkutik (Jelas Zanetti jauh lebih hebat daripada mereka!). Toh, ia tak mengeluh banyak dan tetap bersedia tampil ketika dipanggil lagi di timnas setelah Piala Dunia lewat. (Waktu perlu dipanggil, waktu ikut acara utamanya malah gak dibawa. Kalau saya sih, gak akan mau lagi, tapi Zanetti mau! Sungguh kesetiaan tingkat tinggi!).

Milan pun tak sanggup mengehentikan Zanetti
Bukti terbaru ia hadirkan saat Inter mengalahkan rival beratnya AC Milan, Minggu malam(15/1). Semua yang menonton pasti setuju bahwa ialah pemain terbaik malam itu. Ia bermain tak kenal lelah di seluruh area lapangan , membuat pemain muda seperti Abate dan Pato terlihat seperti para amatir. Ia juga mengirim assist yang mengantarkan Diego Milito mencetak gol tunggal kemenangan Inter. Situs Goal.com International memberi nilai 9.0 sebagai apresiasinya. Berapa orang pemain  non-kiper seusia dia yang masih mendapat nilai setinggi itu saat tampil dalam sebuah laga penting?

Mungkin fans Inter agak berlebihan dalam menyikapi kemenangan tersebut. Il Nerazzuri masih tertinggal 6 poin dari sang puncak klasemen. Namun mereka benar ketika berkata “We have the best captain in Serie-A, or even in the world”. Zanetti -dengan penampilan all-out yang ditampilkannya di setiap duel yang dilakoni Inter- adalah contoh pemimpin terbaik yang bisa ditemukan di klub-klub besar Eropa, setidaknya untuk saat ini. Forza JZ4!

By: El Champions