Pages

Kamis, 19 Januari 2012

JUST FONTAINE

          Siapa pencetak gol terhebat di Piala Dunia? Anda mungkin akan memperdebatkan nama-nama seperti Gerd Mueller, Ronaldo, atau Miroslav Klose yang masih memiliki kesempatan mengikuti pagelaran berikutnya pada 2014 nanti . Namun jika memang harus menunjuk satu nama, mungkin jawaban yang paling tepat adalah Just Fontaine.

          Namanya memang terdengar asing. Selain tidak pernah memenangkan gelar juara dunia, ia pun hanya ikut serta dalam satu edisi Piala Dunia, yaitu pada tahun 1958 di Swedia. Namun justru karena itulah statusnya menjadi legenda. Hanya dalam satu kali kesempatan, ia mencetak 13 gol dalam 6 pertandingan! Suatu rekor yang bertahan hingga saat ini, dan mungkin juga masih akan terus bertahan hingga berpuluh tahun mendatang.
Seperti kebanyakan legenda sepakbola Prancis lainnya, Fontaine juga tidak berasal dari Prancis. Ia lahir di Marrakech, Maroko dari seorang ibu berdarah Spanyol. Keluarganya lalu pindah ke Casablanca, di mana ia memulai karir profesional bersama USM Casablanca. Nice lalu membawanya ke Prancis pada tahun 1953, di mana ia mencetak 44 gol dalam 3 musim.

Pada 1956, ia direkrut oleh Stade de Reims untuk menggantikan pemain bintang Prancis Raymond Kopa yang pindah ke Real Madrid. Ia sukses mengantar klub tersebut meraih gelar juara Ligue 1 1958. Setelah menorehkan sejarah di Piala Dunia 1958 ia kembali untuk mengantar Rheims ke final Piala Champions kedua mereka dan kembali menghadapi Real Madrid, kali ini dengan Kopa di sisi yang berseberangan. Fontaine gagal mencetak gol dan menelan kekalahan dua gol dari Madrid yang mengukuhkan gelar keempatnya.

Setelah itu, Kopa kembali ke Rheims dan duet yang sudah teruji di Piala Dunia ini kembali mengantar Rheims meraih gelar juara Ligue 1 1960. Ia mengalami dua kali patah kaki yang memaksanya pensiun dari timnas. Pada tahun 1962, karena cedera yang terus-menerus kambuh, Fontaine akhirnya memutuskan untuk gantung sepatu pada usia 29 tahun.

Piala Dunia 1958

Fontaine hanya mengikuti satu turnamen mayor di level negara, namun itu sudah lebih dari cukup untuk menorehkan namanya dalam sejarah abadi turnamen terbesar sepakbola itu.

Mengawali turnamen dengan hattrick dalam kemenangan 7-3 atas Skotlandia, ia lalu mencetak dua gol saat Prancis kalah 2-3 dari Yugoslavia, sebelum menyumbang 1 gol dan 1 asisst di yang membawa timnya menang tipis 2-1 atas Skotlandia di laga terakhir putaran grup. Fontaine lalu melanjutkan keganasannya dengan torehan dua gol saat membantai Irlandia 4-0.

Monster di depan gawang
Di semifinal Prancis bertemu dengan Brazil yang diperkuat bintang muda Pele. Fontaine mencetak gol balasan setelah Vava membawa Brazil unggul lebih dulu. Kemudian terjadi insiden ketika Vava mematahkan kaki kapten Prancis, Robert Jonquet. Karena saat itu belum ada aturan pergantian pemain, maka Prancis melanjutkan pertandingan dengan 10 pemain dan takluk 2-5.

Di perebutan tempat ketiga, mereka bertemu dengan juara bertahan Jerman Barat. Fontaine yang masih berselisih dua gol dari rekor yang ditorehkan Sandor Kocsis di piala Dunia 1954 mengamuk dan mencetak 4 gol, membawa timnya meraih peringkat ketiga dengan kemenangan 6-3, sekaligus mengukuhkan diri sebagai top-skorer dengan 13 gol.

Fontaine bahkan bisa mencetak lebih banyak gol, andai dua tendangannya melawan Skotlandia tidak membentur tiang, dan satu eksekusi penalti melawan Jerman Barat yang malah ia serahkan kepada Kopa. Uniknya lagi, sepatu yang ia gunakan sepanjang turnamen bahkan bukan miliknya sendiri, melainkan milik seorang rekan setim yang ia pinjam.

Just Fontaine layak disebut El Champion karena:

Torehan golnya telah berbicara dengan sendirinya. 165 gol dalam 200 pertandingan di Nice dan Rheims. Lalu 30 gol dalam 21 pertandingan Prancis, dengan 13 di antaranya diciptakan dalam satu putaran Piala Dunia. Andai ia tidak pensiun dini karena cedera dan berkesempatan tampil lagi di ajang Piala Dunia berikutnya, Gerd Muller dan Ronaldo mungkin hanya bisa bermimpi untuk menyaingi rekor golnya di turnamen terbesar sejagat. Dan ingat ia hanya memiliki postur 173 cm, bukan ukuran yang ideal untuk sepakbola Eropa.

Ia juga membuktikan bisa membawa klubnya menjadi juara di kancah domestik, dengan dua gelar juara Ligue 1, dan dua gelar top-skorer. Pada November 2003, dalam perayaan ulang tahun UEFA yang ke-50, ia dipilih oleh FFF sebagai pemain terbaik Prancis dalam 50 tahun terakhir.